Yang Aceh Bukan Sinyonya
Rambutan disebut rambutan karena buahnya berambut seperti kepala raksasa Wisanggeni dalam gambar. Di balik kulit berambut itu ada daging buah yang manis dan enak. Ia diekspor ke mancanegara berikut rambutnya juga.
Buah Nephelium lappaceum tidak bisa diusut asal-usulnya, tapi bisa dijumpai tumbuh alamiah mulai dari Hainan di Cina Selatan, Thailand, Malaysia, Indonesia, sampai Filipina. Pohonnya bisa sampai 15 m tingginya, kalau berasal dari biji dan dibiarkan tumbuh liar di huma pinggir hutan. Kultivarnya yang berupa bibit cangkokan dan okulasi hanya bisa tumbuh setinggi 7 m kalau dipelihara baik-baik di pekarangan rumah. Biasanya hanya mau berbuah kalau dikebunkan di daerah “basah”.
Daerah semacam itu selalu diguyur hujan sepanjang sembilan bulan. Hanya tiga bulan di akhir kemarau yang tidak ada hujannya. Kering kemarau ini justru diperlukan, untuk merangsang pohon agar berbunga.
Kalau kemudian pas sesudah membentuk pentil (buah imut-imut) ada hujan yang mengguyur dengan melimpah, maka kita benar-benar mendapat rezeki. Menjelang Tahun Baru Imlek, misalnya. Kepercayaan bahwa banyak hujan pada Tahun Baru mesti banyak rezeki, memang agak benar. Setidak-tidaknya bagi para tengkulak, grosir, dan mamang-mamang penjual rambutan eceran. Begitu musim rambutan tiba, kontan mereka ngobjek buah rambutan. Mereka berhasil!
Di pasar swalayan, harga rambutan binjai terpasang Rp 13.000/kg. Padahal apel impor dari Amrik yang digelar di sampingnya cuma Rp 9.000/kg. Tak mengherankan bahwa di samping orang yang berburu buah, juga ada yang ngebet mau menanam rambutan sendiri di kebun pekarangan.
Sekarang sudah mudah bertanam rambutan, karena bibit unggul sudah banyak beredar di masyarakat, berupa cangkokan dan okulasi dari pohon yang berumah satu. Jadi ada bunga jantan dan bunga betina kumpul kebo di satu “rumah” (pohon). Pasti berbuah.
Dengan memakai bibit asal okulasi, buah sudah bisa muncul pada umur pohon 2 – 4 tahun. Lebih cepat daripada bibit asal biji yang baru berbuah setelah umur 6 tahun. Dulu kita memang terpaksa memakai bibit asal biji karena teknik penangkaran dengan okulasi belum canggih seperti sekarang. Sifatnya lalu untung-untungan. Bisa memperoleh pohon berumah satu yang pasti berbuah, tapi bisa juga mendapat pohon jantan saja yang berumah dua. Ditunggu sampai kiamat ia tidak akan berbuah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar